Pohon yang tepat di depanku kini perlahan mulai
menggugurkan daunnya, seakan daun itu meninggalkan tempat naungan hidupnya.
Iya,, ini seperti kisah cintaku dengannya, meskipun dia sudah tiada tapi hati dan cintaku tetap tidak akan terhapuskan
seperti daun yang tertiup oleh angin. Kisah cintaku dengannya bermula pada
pertemuan di pohon itu, ketika itu aku masih kelas 6 SD.
Siang itu aku duduk bersandar di bawah pohon sambil
mendengarkan lagu karya-karya Mozart. Klariza itulah nama yang akan selalu
terukir lekat dihatiku, dialah yang telah mengubah Lizart menjadi Mozart.
Moehammad Lizart. Yah,
itulah namaku.
Hobiku duduk dibawah
pohon dengan alunan musik Mozart yang menenangkan hatiku. Sore itu ketika aku bersandar
dibawah pohon,
Klariza tetangga
sebelah rumah menghampiri dan mengagetkanku dengan
kejahilan lemparan bunga yang mirip
ulat dan berteriak menakutiku. Disana kami selalu
bermain bersama melantunkan lagu-lagu karya Mozart. Kami berdua suka sekali
dengan musik dan kami pun mempunyai sedikit kemampuan dalam memainkan alat
musik Piano. Lagu favorit kami adalah Kindersinfonie artinya Simfoni anak-anak,
yang merupakan karya terpenting bagi Mozart.
Hampir setiap
hari dibawah naungan pohon kami habiskan berdua untuk memainkan musik-musik karya Mozart. Selain
kita menyukai harmoni-harmoni Mozart, kitapun menyukai tanaman yang tumbuh subur dibelakang
rumah, karena itulah kami elalu menyiraminya setiap ada
waktu.
Karena
kecintaanku terhadap Piano, aku ingin meneruskan studiku ke Jerman untuk mempelajari
lebih lanjut keterampilan dalam memainkan alat musik piano. Sebelum lulus SD
aku sempat menceritakan hal ini kepada Klariza bahwa aku akan meneruskan studiku
ke Jerman. Tergambar raut sedih dimukanya, tapi aku meyakinkannya bahwa aku
akan cepat kembali.
“ Pertemanan kita tidak akan
berakhir begitu saja, aku akan selalu menjaga pertemanan kita sampai akhir
hayat kita. Percayalah padaku,,,” senyumku pada Klariza yang tengah mengusap
air matanya.
“ Sebelum kau pergi kau harus
memainkan sebuah lagu untukku?” Pinta Klariza padaku.
“ Baiklah jika kamu berjanji
padaku, kalau kau tidak akan melupakanku” Ku ulurkan kelingkingku tanda kita
berjanji..
Ku mainkan lagu My Memory, Klariza
kini duduk tepat disampingku, kemudian
kami terbawa hanyut menikmati alunan lagu itu berdua, lengkap dengan kesedihan dan
kebahagian yang ada dihati kami.
**
Keberangkatanku
ke
Jerman sudah semakin dekat,
hatiku tak tega melihat Klariza menitikkan air matanya yang
semakin deras. Ku berikan beberapa balon untuknya yang sedikit membuatnya
tersenyum dan memelukku dengan penuh harapan dihatinya. Dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta tak banyak
kami isi dengan kata-kata, aku dan Klariza asik dengan pikiran masing-masing
tentang kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk setelah perpisah kami.
Demikianlah kepiluan itu menghantarkanku ke Jerman.
**
6 tahun kini
telah berlalu aku tak sabar menemui
orangtua dan kerabatku serta seorang Klariza teman
kecilku yang juga sangat
ku rindukan.
Setelah
cukup beristirahat suatu pagi aku berniat menemui sesosok gadis yang tak
heran lagi dimataku dan pikiranku. Aku mencoba mendekati gadis itu,
“ Guten Morgen “ Sapaku padanya.
“ Hah, whats your mean ?” Klariza
menatap bingung padaku.
“ Hahahahaha” tawaku kepadanya.
“ Ni orang kenapa sih, bule gila
kali ya “ Ketus Klariza padaku.
“ Loe masih inget kan gue, yang jago main
Piano itu “ Cengirku padanya.
“ Jago main piano? Temen gue? Ah
Mozart kah ?” Tebaknya padaku.
“ Yup, gue acungin jempol lue masih
inget gue “ senyumku padanya.
Terlihat
bendungan air mata dibawah pelupuk matanya yang kini siap jebol membanjiri pipi
mulusnya. Aku mengajak dia pergi ke tempat favorit kami waktu kecil yaitu
dibawah pohon yang hingga kini
masih kokoh berdiri tepat dibelakang rumahku. Dan benar saja tanggul air mata itu tak lagi bias
membendung air matanya yang mengalir deras.
Beberapa
saat setelah melepas rindu kuceritakan semua
kejadian yang aku alami selama di Jerman tak
ada yang terlewat. Makanan yang tak cocok dilidah, cuaca dingin yang
menusuk hingga tulang sumsumku, budaya yang terasa janggal, hingga kisah
asmara. Semua itu aku ceritakan pada Klariza. Ya, kini aku sudah mempunyai
kekasih yang menungguku di Jerman
dan sudah aku ikat dengan seuntai janji.
“ Wah, temen kecil gue udah punya
pacar orang bule nih” Cengirnya padaku.
“ Ya donk, loe udah punya pacar?” Tanyaku pada Klariza.
“ Gue? Gue masih Single bukan
jomblo.” Tawanya padaku
“
Lah apa bedanya single sama jomblo?” tanyaku heran pada Klariza.
“ Kalau single tuh prinsip tapi
kalau jomblo itu takdir,heh” Balasnya padaku.
Setelah itu kami mendengarkan lagu
dari Mozart hingga kami tertidur di bawah pohon.
Keesokan
harinya aku mengajak Klariza pergi jalan-jalan untuk melepaskan kerinduanku
padanya. Kami
menghabiskan waktu di taman, bermain basket, makan es krim, dan mengunjungi
SD dulu.
Hari itu cuaca mendung hingga turunlah hujan yang membasahi kami. Kami segera memasuki mobil khawatir basah
kuyup. Kami terdiam cukup lama, cuaca dingin menusuk tubuh,
Klariza memberiku minyak kayu putih untuk
menghangatan tubuhku. Aku merasakan ada yang
berbeda dalam diriku, tubuhku semakin membeku melihat matanya, bibirku seakan
membisu ketika melihat senyumnya yang dia lontarkan untukku. Ini kah cinta?
Batinku terus bertanya-tanya.
“ Ich Liebe Dich “ Ucapku padanya
tanpa rasa ragu.
“ Apa yang kamu katakan?” Tanyanya
padaku.
“ Aku Cinta Kamu” Jawabku cepat.
Dia tersenyum padaku dan memelukku.
Ku bisikan kata ditelinganya “ Maukah kamu terus mendampingiku seumur hidupmu?
“ Sontak dia tercengang dan melihatku dengan penuh keseriusan dimatanya. Air
matapun jatuh membasahi pipinya kami berjanji akan
menjaga satu sama lain hingga ajal menjemput kami.
Keesokan harinya
kami berdua berjalan mendekati pohon yang menjadi saksi kisah kami, dan dibawah
pohon itu kami berjanji akan selalu menjaga, percaya, dan setia satu sama lain.
Aku mengajak Klariza pergi ke rumahku dan kami berdua memainkan lagu
Harpsichord karya dari ayah Mozart. Tibalah saatnya aku akan kembali ke Jerman
untuk menghadiri acara di sekolahku dan persiapan untuk konser perdanaku di
Jerman.
Setelah tiba di
Jerman aku menemui kekasihku disana tanpa pikir panjang aku memutuskannya
begitu saja. Konserku berjalan dengan lancar, Moehammad Lizart kini dia telah
menjadi kembaran Mozart ^^. Dua bulan lamanya aku di Jerman, kini aku pulang
untuk menemui Klariza kekasihku yang sebenarnya, kerinduan yang menggebu tak
terbendung lagi olehku. Aku ingin memeluknya dan mengatakan aku rindu kamu,
batinku terus berkata seperti
itu. Rindu yang bergolak seolah tak paham jarak yang harus
ku tempuh dari Berlin ke Sukabumi, belum lagi birokrasi panjang yang harus ku
lalui sebelum meninggalkan Jerman.
Tak
sabar rasanya kuluapkan emosi kerinduanku pada Klariza yang cantik. Tak bias
lagi ku menunda pertemuanku dengannya.
**
Tak berselang lama, setibaku di Tanah Air kumantapkan
kaki untuk segera melepaskan kerinduan yang tak lagi dapat aku tahan. Tak lupa
kukenaan baju serapi mungkin, sewangi mungkin, sebagus mungin dengan oleh-oleh
dari Jerman dikedua tanganku. Tanpa ragu ku kejutkan Klariza dengan
kedatanganku yang tanpa diketahuinya…
Tersentak aku dengan pemandangan yang ada di
hadapanku,
dengan mata kepalaku sendriri aku melihat Klariza
bersama dengan lelaki yang sangat asing bagiku. Cemburu di dadaku menyeruak. Menghantam relung-relung kalbuku.
Klariza begitu senang berada disampingnya, tapi mungkinkah ini
perasaanku saja? Aku ingin menanyakan semua ketidaktahuanku ini, tapi hanya
satu kata yang terus terngiang dipikiranku yaitu kata percaya kepada dirinya. Ya, aku harus percaya
bahwa dia menjaga perasaanku dan hatiku ini.
Ternyata
kami di takdirkan untuk bersama, sampai
akhirnya kami
menikah pada tanggal 14 September 1996. Kami
mengikat janji suci di depan kedua
orangtua kami dengan disaksikan beribu-ribu orang dan saudara kami. Pernikahan
kami diselenggarakan di halaman belakang rumahku, karena sahabat yang menjadi
saksi bisu kami adalah pohon yang selama ini menemani masa kecil kami.
Kami hidup
bahagia bersama satu anak
ganteng dan satu putri cantik, tempat tinggal kam tetap tak jauh dengan
pohon yang menjadi sahabat kami sejak kecil. Suka maupun
duka telah kami lalui, dan beruntung
aku bias menikahi Klariza. Klariza adalah tipe seorang istri yang selalu
setia menjadi seorang pendamping. Begitulah kehidupan itu
kami lalui seperti juga kehidupan rumah tangga pada umumnya. Hingga pada suatu
hari……
Kecemburuanku
mulai tergugah oleh seorang pria bernama Bima. Dia adalah teman Klariza yang sempat mendaratkan hatinya di pelabuhan hati Klariza.
Ku tanamkan kuat kepercayaan pada Klariza dihatinya hanya ada satu cinta. Aku.
Ya, hanya aku. Seru berkali-kali. Kubuang jauh curiga yang sempat menghantuiku,
walaupun kerap kali dating mengganggu ketenangan.
Suatu hari Bima mengadakan sebuah
pesta perkawinan dan mengundang kami untuk datang ke acaranya dan menjadi
bintang tamu. Disana kami disuguhi berbagai makanan dan minuman dari berbagai
negara. Bima memberikan segelas air minum kepada Klariza dan tanpa ragu air itu di minumnya tanpa sisa.
“ Mas, kepalaku
sedikit pusing” Bisiknya hampir tak terdengar.
“ Duduklah,
sebentar lagi kita pulang” Aku menariknya pelan, mengajaknya duduk.
Tiba-tiba kepanikan tak lagi bias dihindari ketika
wajah Klariza memucat dan tak lama setelah itu Klariza jatuh pingsan. Tanpa
memutar otak kularikan Klariza kerumah sakit.
**
Gundukan tanah dibawah pohon kenangan masih memerah,
taburan bunga warna-warni diatasnya masih Nampak segar. Air mataku tak lagi
bisa menetes seakan telah pula kering bak pohon yang kini juga Nampak
meranggas. Ranting-ranting yang kehilangan daun bak hati yang kehilangan
jiwanya. Perlahan amarah semakin membuncah, ketika Arsenic menjalari seluruh
tubuh Klariza. Dan bedebah Bimalah yang kini berada dibalik jeruji yang
berhasil memenjarakan kemerdekaanku mencintai seorang wanita bernama Klariza.Kini
belahan hatiku telah tiada serpihan hatiku telah meninggalkanku disini. Sebelum akhirnya aku menyusulnya aku
meninggalkan sebuah lagu yang berjudul The
Heaven Way.
***

Tidak ada komentar:
Posting Komentar