Kamis, 21 Maret 2013

Cerpen : Alunan Kesetiaan


Pohon yang tepat di depanku kini perlahan mulai menggugurkan daunnya, seakan daun itu meninggalkan tempat naungan hidupnya. Iya,, ini seperti kisah cintaku dengannya, meskipun dia sudah tiada tapi  hati dan cintaku tetap tidak akan terhapuskan seperti daun yang tertiup oleh angin. Kisah cintaku dengannya bermula pada pertemuan di pohon itu, ketika itu aku masih kelas 6 SD.
Siang  itu aku duduk bersandar di bawah pohon sambil mendengarkan lagu karya-karya Mozart. Klariza itulah nama yang akan selalu terukir lekat dihatiku, dialah yang telah mengubah Lizart menjadi Mozart.
Moehammad Lizart. Yah, itulah namaku. Hobiku duduk dibawah pohon dengan alunan musik Mozart yang menenangkan hatiku. Sore itu ketika aku bersandar dibawah pohon, Klariza tetangga sebelah rumah menghampiri dan mengagetkanku dengan kejahilan lemparan bunga yang mirip ulat dan berteriak menakutiku. Disana kami selalu bermain bersama melantunkan lagu-lagu karya Mozart. Kami berdua suka sekali dengan musik dan kami pun mempunyai sedikit kemampuan dalam memainkan alat musik Piano. Lagu favorit kami adalah Kindersinfonie artinya Simfoni anak-anak, yang merupakan karya terpenting bagi Mozart. Hampir  setiap hari dibawah naungan pohon kami habiskan berdua untuk memainkan musik-musik karya Mozart. Selain kita menyukai harmoni-harmoni Mozart, kitapun menyukai tanaman yang tumbuh subur dibelakang rumah, karena itulah kami elalu menyiraminya setiap ada waktu.
Karena kecintaanku terhadap Piano, aku ingin meneruskan studiku ke Jerman untuk mempelajari lebih lanjut keterampilan dalam memainkan alat musik piano. Sebelum lulus SD aku sempat menceritakan hal ini kepada Klariza bahwa aku akan meneruskan studiku ke Jerman. Tergambar raut sedih dimukanya, tapi aku meyakinkannya bahwa aku akan cepat kembali.
“ Pertemanan kita tidak akan berakhir begitu saja, aku akan selalu menjaga pertemanan kita sampai akhir hayat kita. Percayalah padaku,,,” senyumku pada Klariza yang tengah mengusap air matanya.
“ Sebelum kau pergi kau harus memainkan sebuah lagu untukku?” Pinta Klariza padaku.
“ Baiklah jika kamu berjanji padaku, kalau kau tidak akan melupakanku” Ku ulurkan kelingkingku tanda kita berjanji..
Ku mainkan lagu My Memory, Klariza kini duduk tepat disampingku, kemudian kami terbawa hanyut menikmati alunan lagu itu berdua, lengkap dengan kesedihan dan kebahagian yang ada dihati kami.
**
Keberangkatanku ke Jerman sudah semakin dekat, hatiku tak tega melihat Klariza menitikkan air matanya yang semakin deras. Ku berikan beberapa balon untuknya yang sedikit membuatnya tersenyum dan memelukku dengan penuh harapan dihatinya. Dalam perjalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta tak banyak kami isi dengan kata-kata, aku dan Klariza asik dengan pikiran masing-masing tentang kemungkinan-kemungkinan baik dan buruk setelah perpisah kami. Demikianlah kepiluan itu menghantarkanku ke Jerman.
**
6 tahun kini telah berlalu aku tak sabar menemui orangtua dan kerabatku serta seorang Klariza teman kecilku yang juga sangat ku rindukan.
Setelah cukup beristirahat suatu pagi aku berniat menemui sesosok gadis yang tak heran lagi dimataku dan pikiranku. Aku mencoba mendekati gadis itu,
“ Guten Morgen “ Sapaku padanya.
“ Hah, whats your mean ?” Klariza menatap bingung padaku.
“ Hahahahaha” tawaku kepadanya.
“ Ni orang kenapa sih, bule gila kali ya “ Ketus Klariza padaku.
“ Loe masih inget kan gue, yang jago main Piano itu “ Cengirku padanya.
“ Jago main piano? Temen gue? Ah Mozart kah ?” Tebaknya padaku.
“ Yup, gue acungin jempol lue masih inget gue “ senyumku padanya.
            Terlihat bendungan air mata dibawah pelupuk matanya yang kini siap jebol membanjiri pipi mulusnya. Aku mengajak dia pergi ke tempat favorit kami waktu kecil yaitu dibawah pohon yang hingga kini masih kokoh berdiri tepat dibelakang rumahku. Dan benar saja tanggul air mata itu tak lagi bias membendung air matanya yang mengalir deras.
Beberapa saat setelah melepas rindu kuceritakan semua kejadian yang aku alami selama di Jerman tak ada yang terlewat.  Makanan yang tak cocok dilidah, cuaca dingin yang menusuk hingga tulang sumsumku, budaya yang terasa janggal, hingga kisah asmara. Semua itu aku ceritakan pada Klariza. Ya, kini aku sudah mempunyai kekasih yang menungguku di Jerman dan sudah aku ikat dengan seuntai janji.
“ Wah, temen kecil gue udah punya pacar orang bule nih” Cengirnya padaku.
Ya donk, loe udah punya pacar? Tanyaku pada Klariza.
“ Gue? Gue masih Single bukan jomblo.” Tawanya padaku
“  Lah apa bedanya single sama jomblo?” tanyaku heran pada Klariza.
“ Kalau single tuh prinsip tapi kalau jomblo itu takdir,heh” Balasnya padaku.
Setelah itu kami mendengarkan lagu dari Mozart hingga kami tertidur di bawah pohon.
            Keesokan harinya aku mengajak Klariza pergi jalan-jalan untuk melepaskan kerinduanku padanya. Kami menghabiskan waktu  di taman,  bermain basket, makan es krim, dan mengunjungi SD dulu. Hari itu cuaca mendung hingga turunlah hujan yang membasahi kami. Kami segera memasuki mobil khawatir basah kuyup. Kami terdiam cukup lama, cuaca dingin menusuk tubuh, Klariza memberiku minyak kayu putih untuk menghangatan tubuhku. Aku merasakan ada yang berbeda dalam diriku, tubuhku semakin membeku melihat matanya, bibirku seakan membisu ketika melihat senyumnya yang dia lontarkan untukku. Ini kah cinta? Batinku terus bertanya-tanya.
“ Ich Liebe Dich “ Ucapku padanya tanpa rasa ragu.
“ Apa yang kamu katakan?” Tanyanya padaku.
“ Aku Cinta Kamu” Jawabku cepat.
Dia tersenyum padaku dan memelukku. Ku bisikan kata ditelinganya “ Maukah kamu terus mendampingiku seumur hidupmu? “ Sontak dia tercengang dan melihatku dengan penuh keseriusan dimatanya. Air matapun jatuh membasahi pipinya kami berjanji akan menjaga satu sama lain hingga ajal menjemput kami.
Keesokan harinya kami berdua berjalan mendekati pohon yang menjadi saksi kisah kami, dan dibawah pohon itu kami berjanji akan selalu menjaga, percaya, dan setia satu sama lain. Aku mengajak Klariza pergi ke rumahku dan kami berdua memainkan lagu Harpsichord karya dari ayah Mozart. Tibalah saatnya aku akan kembali ke Jerman untuk menghadiri acara di sekolahku dan persiapan untuk konser perdanaku di Jerman.
Setelah tiba di Jerman aku menemui kekasihku disana tanpa pikir panjang aku memutuskannya begitu saja. Konserku berjalan dengan lancar, Moehammad Lizart kini dia telah menjadi kembaran Mozart ^^. Dua bulan lamanya aku di Jerman, kini aku pulang untuk menemui Klariza kekasihku yang sebenarnya, kerinduan yang menggebu tak terbendung lagi olehku. Aku ingin memeluknya dan mengatakan aku rindu kamu, batinku terus berkata seperti itu. Rindu yang bergolak seolah tak paham jarak yang harus ku tempuh dari Berlin ke Sukabumi, belum lagi birokrasi panjang yang harus ku lalui sebelum meninggalkan Jerman.
Tak sabar rasanya kuluapkan emosi kerinduanku pada Klariza yang cantik. Tak bias lagi ku menunda pertemuanku dengannya.
**
Tak berselang lama, setibaku di Tanah Air kumantapkan kaki untuk segera melepaskan kerinduan yang tak lagi dapat aku tahan. Tak lupa kukenaan baju serapi mungkin, sewangi mungkin, sebagus mungin dengan oleh-oleh dari Jerman dikedua tanganku. Tanpa ragu ku kejutkan Klariza dengan kedatanganku yang tanpa diketahuinya…
 Tersentak aku dengan pemandangan yang ada di hadapanku, dengan mata kepalaku sendriri aku melihat Klariza bersama dengan lelaki yang sangat asing bagiku. Cemburu di dadaku menyeruak. Menghantam relung-relung kalbuku. Klariza begitu senang berada disampingnya, tapi mungkinkah ini perasaanku saja? Aku ingin menanyakan semua ketidaktahuanku ini, tapi hanya satu kata yang terus terngiang dipikiranku yaitu kata percaya kepada dirinya. Ya, aku harus percaya bahwa dia menjaga perasaanku dan hatiku ini.
Ternyata  kami di takdirkan untuk bersama, sampai akhirnya kami menikah pada tanggal 14 September 1996. Kami mengikat janji suci  di depan kedua orangtua kami dengan disaksikan beribu-ribu orang dan saudara kami. Pernikahan kami diselenggarakan di halaman belakang rumahku, karena sahabat yang menjadi saksi bisu kami adalah pohon yang selama ini menemani masa kecil kami.
Kami hidup bahagia bersama satu anak ganteng dan satu putri cantik, tempat tinggal kam tetap tak jauh dengan pohon yang menjadi sahabat kami sejak kecil. Suka maupun duka telah kami lalui, dan beruntung aku bias menikahi Klariza. Klariza adalah tipe seorang istri yang selalu setia menjadi seorang pendamping. Begitulah kehidupan itu kami lalui seperti juga kehidupan rumah tangga pada umumnya. Hingga pada suatu hari……
Kecemburuanku mulai tergugah oleh seorang pria bernama Bima. Dia adalah teman Klariza yang sempat mendaratkan hatinya di pelabuhan hati Klariza. Ku tanamkan kuat kepercayaan pada Klariza dihatinya hanya ada satu cinta. Aku. Ya, hanya aku. Seru berkali-kali. Kubuang jauh curiga yang sempat menghantuiku, walaupun kerap kali dating mengganggu ketenangan.
 Suatu hari Bima mengadakan sebuah pesta perkawinan dan mengundang kami untuk datang ke acaranya dan menjadi bintang tamu. Disana kami disuguhi berbagai makanan dan minuman dari berbagai negara. Bima memberikan segelas air minum kepada Klariza dan tanpa ragu air itu di minumnya tanpa sisa.
“ Mas, kepalaku sedikit pusing” Bisiknya hampir tak terdengar.
“ Duduklah, sebentar lagi kita pulang” Aku menariknya pelan, mengajaknya duduk.
Tiba-tiba kepanikan tak lagi bias dihindari ketika wajah Klariza memucat dan tak lama setelah itu Klariza jatuh pingsan. Tanpa memutar otak kularikan Klariza  kerumah sakit.
**
            Gundukan tanah dibawah pohon kenangan masih memerah, taburan bunga warna-warni diatasnya masih Nampak segar. Air mataku tak lagi bisa menetes seakan telah pula kering bak pohon yang kini juga Nampak meranggas. Ranting-ranting yang kehilangan daun bak hati yang kehilangan jiwanya. Perlahan amarah semakin membuncah, ketika Arsenic menjalari seluruh tubuh Klariza. Dan bedebah Bimalah yang kini berada dibalik jeruji yang berhasil memenjarakan kemerdekaanku mencintai seorang wanita bernama Klariza.Kini belahan hatiku telah tiada serpihan hatiku telah meninggalkanku disini. Sebelum akhirnya aku menyusulnya aku meninggalkan sebuah lagu yang berjudul The Heaven Way.
***